Termasuk dari rahmat Allah kepada hamba-Nya yang beriman dan sekaligus sebagai nikmat yang paling besar adalah dipertemukan si hamba tersebut dengan bulan Ramadhan, yang mana di bulan ini Rasulullah r telah banyak menerangkan akan keutamaannya sebagaimana yang telah disebutkan banyak dalam beberapa hadits yang shahih, diantaranya yaitu:
· Dibuka pintu jannah
· Dibuka pintu rahmat
· Dibuka maghfirah (ampunan)
· Dibebaskan orang dari neraka
· Ditutup pintu neraka
· Dibelenggu setan jin yang durhaka, dan lain-lain.
Oleh sebab itu suri tauladan umat ini telah banyak memanfaatkan waktunya untuk banyak berbuat amal kebaikan di bulan ini, terlebih khusus disaat datangnya malaikat Jibril u untuk saling mengkaji bacaan Al-Qur’an baik secara lafazh maupun makna, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِr أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ r أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
Dari Ibnu Abbas berkata: “Adalah Rasulullah r seorang yang sangat mudah dalam berbuat kebaikan, dan lebih banyak lagi kemudahan dalam amal baik disaat datang bulan Ramadhan disaat ditemui oleh malaikat Jibril pada setiap malam bulan Ramadhan lalu beliau saling mempelajari Al-Qur’an, maka Rasulullah r lebih bermurah dalam berbuat baik lebih cepat dari hembusan angin”. (HR. Bukhari)
Adapun beberapa amal baik yang dilakukan oleh beliau r selain tadarus Al-Qur’an adalah berpuasa, qiyamul lail, bershadaqah, dan lain-lain.
Dan ketika sampai pada 10 terakhir di bulan Ramadhan beliau r lebih meningkatkan kesungguhannya dalam beribadah kepada Allah seperti qiyamul lail, telah disebutkan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ r إِذَا دَخَلَ الْعَشْر شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
Dari Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata: “Adalah Nabi r bila telah masuk sepuluh terakhir di bulan Ramadhan beliau mengencangkan sarungnya dan menghidupkan malamnya (dengan shalat qiyamul lail ) dan beliau membangunkan istrinya”. (HR. Bukhari).
Sebagian diantara para ulama salaf telah menerangkan tentang amalan yang menghidupkan malam terakhir di bulan Ramadhan, seperti amalan sahabat Umar bin Khaththab t. Dalam kitab Al-Muwaththa’ disebutkan bahwa Umar bin Khaththab t pernah shalat di waktu malam sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah beliau shalat, sampai pada pertengahan malam beliau membangunkan keluarganya dan mengatakan kepada mereka: “Shalat! shalat!”, dan beliau membaca ayat ini:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya”. (Thaha: 132)
Sufyan Ats-tsauri berkata:
أَحَبُّ إِلَيَّ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ اْلأَوَاخِرُ أَنْ يَتَهَجَّدَ بِاللَّيْلِ، وَيَجْتَهِدَ فِيْهِ، وَيُنْهِضَ أَهْلَهُ وَوَلَدَهُ إِلَى الصَّلاَةِ إِنْ أَطَاقُوْا ذلِكَ.
"Lebih aku sukai suatu amal bila masuk sepuluh terakhir di bulan Ramadhan untuk melakukan shalat tahajjud di waktu malam dan bersungguh-sungguh dalam amal dan membangunkan istrinya dan anaknya untuk shalat bila mereka mampu untuk itu".
Dan Nabi r lebih meningkatkan kesungguhannya dalam menghidupkan malamnya dengan qiyamul lail, sebab beliau tidak ingin terluputkan dari keutamaan satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan, yaitu malam Lailatul Qadr (malam penentuan kebaikan hidup), dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ دَخَلَ رَمَضَانُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r: إِنَّ هَذَا الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَفِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَهَا فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْرَ كُلَّهُ وَلاَ يُحْرَمُ خَيْرَهَا إِلاَّ مَحْرُومٌ
Dari Anas bin Malik t berkata: “Telah datang bulan Ramadhan, Rasulullah r bersabda: “Sesungguhnya Ramadhan ini telah hadir dihadapan kalian dan pada bulan tersebut terdapat malam yang lebih baik dari 1000 bulan, barangsiapa yang terhalang dari malam tersebut (tidak dihidupkan malam dengan ibadah) niscaya dia telah terhalang akan semua kebaikan malam tersebut, dan tidaklah yang terhalang kebaikannya kecuali orang mahrum (terhalang) kebaikannya”. (HR. Ibnu Majah, dihasankan Al-Albani).
Dan beliau r menghimbau kepada kaum muslimin agar mencari malam keutamaan itu pada sepuluh malam terakhir tersebut agar mereka tidak terluputkan dari keutamaan malam tersebut, disebutkan dalam hadits:
عَنْ جَبَلَةَ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ كَانَ مُلْتَمِسَهَا فَلْيَلْتَمِسْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ
Dari Jabalah berkata: “Aku mendengar Ibnu Umar membawakan hadits dari Nabi r bahwa beliau bersabda: “Barang siapa yang ingin mencari malam Lailatul Qadr maka carilah pada sepuluh malam terakhir”. (HR. Muslim).
عُيَيْنَةُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ ذُكِرَتْ لَيْلَةُ الْقَدْرِ عِنْدَ أَبِي بَكْرَةَ فَقَالَ مَا أَنَا مُلْتَمِسُهَا لِشَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ r إِلاَّ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فَإِنِّي سَمِعْتُهُ يَقُولُ: الْتَمِسُوهَا فِي تِسْعٍ يَبْقَيْنَ أَوْ فِي سَبْعٍ يَبْقَيْنَ أَوْ فِي خَمْسٍ يَبْقَيْنَ أَوْ فِي ثَلاَثِ أَوَاخِرِ لَيْلَةٍ. قَالَ: وَكَانَ أَبُو بَكْرَةَ يُصَلِّي فِي الْعِشْرِينَ مِنْ رَمَضَانَ كَصَلاَتِهِ فِي سَائِرِ السَّنَةِ فَإِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ اجْتَهَدَ.
Uyainah bin Abdurrahman berkata: “Telah menceritakan kepadaku bapakku, dia berkata: “Pernah disebutkan malam Lailatul Qadr di sisi Abu Bakrah lalu dia berkata: “Aku tidak mencari malam tersebut karena suatu hadits yang aku dengarnya dari Rasulullah r kecuali pada sepuluh malam terakhir, maka sesungguhnya beliau r bersabda: “Carilah malam tersebut pada malam yang kesembilan, ketujuh, kelima atau ketiga pada puluhan malam terakhir”. Dan Abu Bakrah pernah shalat pada 20 malam di bulan Ramadhan seperti shalatnya pada setiap tahunnya, maka bila telah memasuki puluhan terakhir beliau menunjukkan kesungguhannya dalam beribadah”. (HR. Tirmidzi, shahih).
Oleh sebab itulah pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan ini Rasulullah r melakukan ibadah i'tikaf, yaitu menetap di masjid dengan cara yang tertentu dengan niat untuk taat ibadah kepada Allah sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ r أَنَّ النَّبِيَّ r كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Dari Aisyah istri Rasulullah r bahwa Nabi r pernah beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian para istrinya beri’tikaf sesudah beliau wafat. (HR. Bukhari).
Jadi ibadah i'tikaf adalah thariqah Salafush shalih yang disunnahkan untuk dilakukan meskipun tidak ada hadits yang menunjukkan keutamaannya, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam Ahmad.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ فِي مَسَائِلِهِ: قُلْتُ ِلأَحْمَدَ: تَعْرِفُ فِي فَضْلِ اْلاِعْتِكَافِ شَيْئاً ؟, قَالَ : لاَ, إِلاَّ شَيْئاً ضَعِيْفاً
Abu Dawud berkata dalam “Masail”-nya: “Aku bertanya kepada Ahmad: “Apakah engkau mengetahui tentang hadits keutamaan i'tikaf ?”, beliau menjawab: “Tidak, kecuali suatu hadits yang dha’if”.
Namun bukan berarti harus ditinggalkan, Imam Az-Zuhri berkata:
عَجَباً لِلْمُسْلِمِيْنَ ! تَرَكُوا اْلاِعْتِكَافَ ، مَعَ أَنَّ النَّبِيَّ r مَا تَرَكَهُ مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ حَتَّى قَبَضَهُ اللهُ U
“Suatu keanehan bagi kaum muslimin! Mereka telah meninggalkan i'tikaf, padahal Nabi r belum pernah meninggalkannya semenjak beliau datang ke Madinah sampai Allah wafatkan beliau”.
Adapun manfaat i'tikaf, disamping agar tidak terluputkan dari keutamaan malam Lailatul Qadr dengan melakukan ibadah di waktu malam hari adalah untuk lebih terkonsentrasikan dalam bermunajat kepada Allah dengan ibadahnya tanpa tersibukkan dengan keduniaannya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Ibnul Qayyim –rahimahullah-:
“Dan disyari’atkannya i’tikaf bagi mereka, yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah U dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata. Hingga jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepada-Nya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah keinginan semua kepada-Nya dan semua yang terbetik dalam hati dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dengan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan dengan berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk. Yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di dalam kubur manakala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu”. [Zaadul Ma’ad (2/86-87)]
Dan terakhir semoga Allah memberikan kemudahan dalam beramal shalih di bulan suci Ramadhan terlebih pada puluhan terakhir, amiin.
Wallahu a’lamu bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam